Salah
satu hal yang paling saya syukuri dalam hidup adalah memiliki ayah yang sangat
mencintai buku. Tinggal di kampung dan pendidikan formal tidak tinggi, tidak
menghalangi beliau untuk benyak membaca buku dan berlangganan koran. Beliau pun
memenuhi dinding rumah kami dengan buku-buku koleksinya. Maka tak heran jika
kemudian saya dan adik-adik menjadi akrab dengan buku sejak kecil.
Akrab
dengan buku membuat saya memiliki cita-cita menjadi seorang penulis. Pasti
bangga sekali jika suatu saat nama saya tercetak pada sampul buku dan dipajang
di rumah kami. Saat itu saya sama sekali tak punya gambaran bagaimana cara
mewujudkan impian tersebut.
Saat
SMU tulisan pertama saya terbit di majalah berbahasa Sunda, Mangle. Meski hanya
tuisan sederhana tapi rasanya bahagia tidak terkira. Mesin tik jadul bekas Bibi
(adik Ayah) menjadi andalan saya untuk menulis saat itu.
Saat
kuliah saya masih menggenggam cita-cita untuk menjadi penulis. Sering sekali
saya mengikuti pelatihan menulis baik yang diselenggarakan di kampus mau pun
luar kampus. Saat itu mulai banyak rental computer, tetapi saya masih setia
dengan mesin tik jadul.
Dua
bulan setelah diwisuda, tepatnya 25 Desember 2003 saya berganti status menjadi seorang
istri. Suami meminta saya untuk tidak bekerja di luar rumah. Dengan suka rela
saya menyetujuinya. Di samping alasan karena cinta, saya pun sudah memiliki
rencana untuk diwujudkan. Saat itu saya yakin, cita-cita menjadi penulis akan
terwujud jika saya menjadi ibu rumah tangga. Menulis akan menjadi sarana
aktualisasi diri serta mengamalkan ilmu hasil kuliah.
Rupanya
Allah menjodohkan saya dengan seorang yang memiliki cita-cita sebagai penulis
pula. Saat bayi kami lahir, lahir pula buku pertama suami. Ini momen yang luar
biasa buat saya. Saya merasa mendapat motivasi yang kuat untuk mewujudkan mimpi
menjdi penulis. Berbekal komputer suami, saya pun mulai melangkah untuk
mewujudkan mimpi dengan menulis naskah buku.
Saya
menulis saat bayi tidur dan suami di kantor sehingga komputernya nganggur.
Sedikit-demi sedikit hingga tuntas berbulan-bulan kemudian. Terus terang, saya
hanya punya modal nekad. Tak ada mentor untuk bertanya apakah naskah ini layak
terbit atau tidak. Untuk meningkatkan kepercayaan diri, saya mengajak seorang
sahabat untuk bergabung. Kami, dua orang ibu rumah tangga mengetuk pintu
penerbit mayor dengan modal nekat. Alhamdulillah, akhirnya berbuah manis,
naskah kami terbit setahun kemudian setelah melewati masa revisi yang
berdarah-darah.
Setahun
kemudian, seorang teman menawariku untuk bergabung mengerjakan sebuah proyek
buku anak. Sebenarnya, saya merasa berat untuk menerima tawaran ini. Disamping
deadline yang ketat, saat itu kami tidak memiliki komputer.
Setelah berdiskusi dengan suami, beliau ternyata
mendukung saya untuk mengambil tawaran ini. Beliau bersedia mengasuh kedua anak
kami saat saya menyelesaikan tulisan. Untuk mengerjakan proyek ini kami sampai menyewa
angkot untuk mengambil komputer dari tempat kost adik. Alhamdulillah, saya
merasa amat bersyukur karena suami sangat mendukung cita-cita istrinya.
Tahun 2011 saya merasa sudah saatnya memiliki laptop
pribadi. Rasanya tak enak terus-terusan menggunakan laptop punya suami. Di
samping karena waktu menulis menjadi sangat terbatas bergantung suami ada di
rumah dan laptop nganggur. Sayang sekali kalau banyak ide yang akhirnya
terlupakan. Rupanya suami sudah menilai kesungguhan saya dalam dunia menulis.
Sehingga tanpa banyak bicara suami langsung setuju dan kami mulai mencari
informasi seputar laptop.
Kami sepakat untuk memesan pada seorang teman yang
mengerti seluk beluk laptop. Dia bertanya ingin merk apa, budget berapa, dan
kebutuhannya apa saja. Saya sebut budgetnya sekian, ada pun mengenai merk dan
spesifikasinya saya percayakan sepenuhnya pada dia. Saya bilang, “Saya butuh
laptop untuk menulis buku, minta yang awet karena terus terang saya bisa
dibilang buta sama urusan membetulkan laptop”. Saya pun minta yang ringan,
supaya ringan membawanya saat harus bepergian.
Setelah beberapa kali diskusi akhirnya disepakati bahwa
kami memesan notebook ASUS. Teman kami menjelaskan keunggulan notebook ini dan
kami mempercayainya. Dia bilang notebook ASUS itu awet dan tidak rewel. Dan
memang terbukti, hingga saat ini notebook ASUS ini sudah tujuh tahun menemaniku
dan masih nyaman dipakai.
![]() |
Menulis di notebook ASUS sambil mengasuk si Kecil |
Selama
tujuh tahun ini, notebook ini hanya pernah diservis dua kali. Sekali karena
layarnya bergerak-gerak yang kedua karena keypadnya tidak bisa digunakan. Karena
dipukul-pukul balita. Maklumlah, saya ngetiksambil ngasuh J.
Chargernya pun awet, saya tak pernah
menggantinya, hanya pernah diservis satu kali saja. Saya pikir ASUS ini
termasuk bandel, mengingat saya punya empat krucil yang selalu mau nimbrung.
Namanya juga Emak-emak, selain berfungsi untuk menulis, notebook ini berfungsi
untuk menonton film kartun oleh anak-anak. Kadang mereka sampai rebutan hingga
tak aneh notebook ini kadang kedudukin atau terjatuh saat rebutan. Hal yang
dikeluhkan anak-anak dengan notebook ini karena layarnya kecil dan tidak ada CD
room saja.
Syukurlah
saat itu tiga buku sudah terbit, berarti impian sejak masa kecil untuk menjadi
penulis telah mulai tercapai. Tapi entah mengapa saya merasa belum merasa
pantas untuk disebut penulis. Rasanya saya sangat membutuhkan ilmu, mentor,
serta komunitas penyemangat menulis.
Rupanya,
harapan saya terjawab dengan dilaunchingnya Sekolah Perempuan. Begitu membaca
informasinya, saya langsung bertanya banyak hal pada sang founder, Teh Indari
Mastuti. Setelah itu saya komunikasikan pada suami dan kami sepakat bahwa ini
yang saya butuhkan. Saya pun mendaftar menjadi peserta Sekolah Perempuan
angkatan pertama. Suami mendukung dengan dana dan tenaganya, beliau setiap
Sabtu selama 12 minggu mengasuh tiga anak kami di rumah, Saya amat sangat
bersyukur atas kebaikan hatinya.
![]() |
Bersama teman-teman Sekolah Perempuan |
Salah
satu syarat mengikuti sekolah perempuan adalah memiliki laptop dan membawanya
saat belajar. Maka selama 12 pertemuan notebook ASUS ini saya bawa bersama
perlengkapan lainnya, naik turun angkutan umum. Untunglah notenya ringan hingga
tubuh mungil saya tak terlalu terbebani. Notebook ASUS ini pula yang saya
gunakan menulis setiap menjelang subuh untuk mengejar target satu naskah selama
mengikuti program Sekolah Perempuan. Alhamdulillah, target tercapai tepat waktu
dan beberapa bulan kemudian bukunya terbit di Elex Media Komputindo.
![]() |
Buku yang terbit setelah mengikuti Sekolah Perembuan |
Mengikuti
Sekolah Perempuan ternyata benar-benar mewujudkan impian saya, memiliki mentor,
komunitas menulis, ilmu menulis, hingga jaringan ke penerbit. Meski di rumah
saja, saya masih tetap berkarya. Hingga saat ini belasan buku solo ditambah
buku antologi telah berhasil saya tulis dan diterbitkan. Bukan hanya menulis
buku, saya pun merambah menjadi penulis konten serta blogger.
Saya
pikir sudah saatnya mengganti laptop dengan yang memiliki layar lebih lebar.
Akhir-akhir ini mata sering terasa sepet dan pandangan memburam. Pasti ini
karena terlalu sering membaca novel serta menulis di notebook yang layarnya
kecil. Tapi tetap saya ingin nyari yang agak ringan saat ditenteng.
Kemarin
sudah nyari-nyari informasi seputar laptop ASUS, (karena sudah terlanjur suka
ASUS J)
dan membaca spesifikasinya, rasanya saya menyukai laptop ASUS Vivobook Flip
TP410. Ini alasan saya menyukai laptop ASUS VVivobook Flip TP410:
![]() |
Sumber gambar: www.asus.comLaptop ASUS Vivobook Flip TP410 incaranku |
1.
Tipis dan
ringan
Laptop ASUS
Vivobook Flip
TP410 ini tipis dan ringan. Laptop berukuran 14 inci ini tebalnya hanya 1,92cm
dan berat 1,6kg, ringan sekali kan?
Cocok banget
buat saya yang nggak kuat lama menggendong laptop yang berat, bikin sakit
pundak. Apalagi Emak-emak kemana pun pergi pasti membawa banyak perlengkapan
krucil.
2. Nyaman untuk
mengetik
Vivobook
14 ini sangat sangat nyaman buat ngetik, ini penting banget buat seorang
penulis yang sering dikejar deadline seperti saya. Selain itu dilengkapi tombol
backlit yang memiliki control cahaya sekitar. Ini solusi bagus jika sesekali
lampu mati atau penerangan kurang bagus saya bisa tetap bisa produktif.
Baterai Awet
Suka ribet kan ya kalau lagi
seru-serunya menulis tiba-tiba baterai habis, mesti nyari dulu charger yang kadang lupa nyimpan karena
dimainkan krucil di rumah. Khawatir ide keburu menghiang. Nah, Laptop ASUS
Vivobook Flip ini jika diisi penuh maka dapat bertahan seharian. Dan teknologi
ASUS Battery Health Charging akan
membantu melindungi baterai kita saat diisi ulang.
NanoEdge Display
ASUS Vivobook Flip TP410 berfitur nanoedge yang amat canggih. Hal ini
tentu akan mendukung saya untuk bekerja lebih kreatif. Sekarang kan penulis
juga dituntut untuk lebih kreatif ya.
5.
Bisa jadi empat
mode
ASUS Vivobook Flip TP410 ini bisa
didisplaiy menjadi 4 mode yaitu media stand, powerful laptop, responsive tablet
dan share viewer. Kalau pas bedah buku bawa laptop ini, pakai dengan mode media
stand atau share viewer, pasti keren banget
kelihatannya. Nggak akan ada yang mengira sehari-hari kerjanya memakai daster
hehe ….
![]() |
Sumber gambar: www.asus.com mode shared viewer yang keren banget buat presentasi |
6.
Fingerprint Sensor.
ASUS Vivobook Flip TP410 sudah
dilengkapi dengan fingerprint sensor. Ini sangat baik untuk
keamanan. Karena, saya tak perlu lagi kata sandi yang mungkin bisa diretas hacker,
cukup sentuhkan jari maka akses vivobook Flip terbuka. Sidik jari tak bisa
ditiru kan?
Sumber gambar: www.asus.com
Laptop canggih yang akan bikin makin produktif
Doakan yaa semoga saya segera mendapat
rejeki untuk memiliki laptop ASUS Vivobook Flip TP410 yang menggiurkan ini. Mata
saya yang mulai minus banyak ini tentu akan lebih nyaman mengetik di laptop ASUS
Vivobook Flip TP410, sehingga akan semakin produktif menulis. Kalian juga
tertarik kan?
![]() |
Lomba blog ASUS |