Minggu, 14 Januari 2018

Pujilah Anakmu, Wahai Ayah Bunda: Pujilah Istrimu, Wahai Para Suami


Teringat sepenggal episode kehidupan di masa kecil. Mungkin antara SD kelas tinggi dan SMP. Saat itu Ayah dan Mamah selalu mengajakku menjaga toko kami setiap aku liburan. Belajar ilmu bisnis, begitu kata Ayah. Biasanya, aku sama Ayah berangkat duluan dan Mamah menyusul setelah membereskan pekerjaan rumah tangga. Mungkin pikir orang tuaku, masih kecil juga lumayan lah teman ngobrol atau yang nunggu saat mereka shalat atau ke kamar kecil.

Tapi terus terang, buatku menjaga toko bukanlah pengisi liburan yang mengasikkan. Meski di pasar banyak sekali jajanan, tapi kupikir tidak sebanding dengan rasa jenuhnya. Aku selalu punya banyak alasan untuk menghindar dari tugas itu. Maka jadilah setiap ahad pagi saat berdebat yang melelahkan. Tapi tetap saja aku tak bisa selalu menghindar.

“Ya sudah kalau tidak mau jaga toko, Teteh ngurus rumah aja. Tapi semuanya harus selesai. Beberes, ngepel, nyuci, masak, juga ngasuh Si Bungsu, mau?” tantang Mamah suatu hari. Mungkin mamah sudah bosan berdebat denganku.

Aku pikir itu lebih asyik buatku. Aku akan segera menyelesaikan semuanya dan setelah itu main, nonton, atau baca buku.

“Siap!” jawabku mantap.

“Yakin? Pekerjaan rumah itu banyak sekali lho! Kalau Mamah mah mending juga jaga toko,  cuma duduk nunggu pembeli.”

Aku tetap pada pendirianku. Memang sih mengerjakan semua pekerjaan rumah itu tidak mudah. Terlebih sebelumnya kami selalu dibantu seorang khadimat. Tapi aku enjoy mengerjakannya karena ada targetan yang menyenangkan setelahnya. Beberes, ngepel, nyuci baju, nyuci piring, masak nasi semua sudah. Ah cape juga, tapi aku senang. Kalau ada kemauan ternyata bisa juga.

Kualitas pekerjaannya? Ya standar anak kecil lah hehe… Contohnya cara nyuci: rendam pakaian di dalam jolang, biarkan, injak-injak, setelah itu satu-satu dikucurin di bawah air kran yang selalu melimpah di rumahku (maklum tinggal di kaki gunung). Selesai deh tinggal menjemur. Bersih? Nggak tahu…hehe… Setelah semua pekerjaan kuanggap beres, aku bersenang-senang nonton, main, atau baca buku sambil ngasuh Si Bungsu tentu saja.

Siang hari ba’da dzuhur Ayah dan Mamah pulang. Aku senang karena akan membuktikan pada mereka bahwa aku bisa diandalkan. Pakaian kotor sudah dijemur, piring kotor sudah dicuci, sudah masak nasi dan beberes rumah juga. Mereka tampak terkesan dengan pekerjaanku hingga saat Ayah minta minum aku tercekat. Tak setetes pun air minum yang dapat kusuguhkan. Habislah aku diomelin.

“Di rumah seharian ngapain aja? Sampai air minum setetes pun tak ada.”

Aku menangis. Campur baur antara rasa bersalah, sedih, dan kesal. Rasa bersalah karena keteledoranku Ayah dan Mamah harus menahan haus. Sedih karena gagal membuktikan diri. Dan kesal karena cape-cape bekerja malah dimarahi. Aku berjanji minggu depan akan lebih teliti lagi.

Herannya minggu depan dan depannya lagi kesalahanku selalu terulang. Bukan kesalahan yang sama sebenarnya tapi mirip. Kadang lupa masak nasi, kadang lupa menjemur baju, dll. Dapat dipastikan, aku selalu mendapat omelan karenanya.

Tentu saja aku kesal pada diri sendiri tapi kesedihanku lebih dalam lagi. Aku merasa diperlakukan tidak adil. Bukankah aku sudah melakukan banyak hal, tapi mengapa aku selalu diomelin karena satu hal yang lupa kukerjakan? Memang sih keteledoranku lumayan fatal, tapi kan aku sudah berusaha banyak. Tapi saat itu aku tidak tahu cara mengungkapkannya.

Beruntung, aku punya hobi membaca. Aku menemukan solusinya saat membaca koran ‘PR’ langganan Ayah. Aku lupa rubriknya, temanya kira-kira mengkritisi kebiasaan orang tua yang jarang memuji tapi sering mengkritik anaknya. Aku baca artikel itu  hingga tuntas dan aku lega karena menemukan solusi permasalahanku. 

Aku katakan pada orang tuaku bahwa aku kesal pada diri sendiri kenapa selalu ada saja pekerjaan rumah yang terlupakan. Aku sedih sekali setiap mereka memarahiku karena keteledoranku itu. Tapi aku lebih sedih karena mereka selalu focus pada kesalahanku tanpa pernah memuji banyak pekerjaan yang telah kulakukan. Alhamdulillah, orang tuaku bijak, mereka mau mendengarkan isi hati anaknya. Tanpa sungkan mereka minta maaf. Mamah memelukku. Aku tersenyum senang.

Minggu depannya, aku lupa apakah ada keteledoran lagi atau tidak. Yang kuingat, saat pulang dari toko Mamah dan Ayah kompak memujiku. “Waah, ada Teteh di rumah mah semuanya rapi bersih. Mau makan tinggal ambil nasi hangat. Mamah sama Ayah tinggal istirahat. Terima kasih ya, Teteh.” Aku jadi malu sekaligus bahagia mendengarnya.

Sejak itu Mamah dan Ayah tak lupa memuji pekerjaanku. Tentu saja aku makin semangat mengerjakan semuanya. Apakah aku riya dan tidak ikhlas? Entahlah. Tapi kupikir, justru aku lebih ikhlas bekerja jika mendapat pujian sebagaimana aku tidak akan ikhlas bekerja jika setelahnya selalu mendapat teguran.

Saat itu tentu saja aku belum berpikir bahwa suatu saat aku akan menjadi ibu rumah tangga full. Setelah menikah aku memutuskan untuk menjadi full time mother dan menyimpan ijazah sarjanaku. Biarlah ilmuku kuamalkan melalui tulisan. Kadang merasa bersyukur namun kadang merasa tidak mudah menjadi IRT ini. Rasa jenuh dan bosan kadang meraja. Aku hampir selalu berada di dalam rumah, mengerjakan pekerjaan rumah yang tak ada habisnya. Aku keluar rumah hanya untuk ke warung. Sesekali jalan-jalan dan itu pun jarang karena repot dengan anak-anak yang masih kecil-kecil.

Nah, sebagai manusia tentu saja ibu rumah tangga juga perlu aktualisasi diri. Kupikir dulu caranya cukup dengan menulis. Tapi ternyata, disamping menjadi penulis kebutuhan aktualisasi diriku terpenuhi justru saat mendapat pengakuan dari anak dan suami. Pengakuan dari mereka membuatku merasa tidak sia-sia karena ijazah sarjana kusimpan di dalam lemari. 

Aku bahagia saat anak-anak makan masakanku dengan antusias (mereka agak susah makan) dan mengatakan masakan Bunda enak. Mereka lebih suka menikmati kudapan bikinanku dari pada makan nasi. Aku bahagia saat suami makan sampai nambah berkali, lalu mengacungkan jempol dengan mulut penuh. Aku terkekeh geli sekaligus tersanjung setelah bukber di sebuah hotel dan mengatakan makanannya lebih enak bikinan Bunda. Aku bukan seorang ibu yang pandai memasak berbagai jenis makanan, tetapi saat keluarga menyukai masakanku dan mengucapkan susuatu yang menyenangkan, itu rasanya seperti mendapat penghargaan istimewa.

Tentu saja aku berusaha ikhlas melakukan semua pekerjaanku karena mengarap rido Allah. Aku juga tidak gila pujian yang artinya hanya mau melakukan sesuatu jika ada pujian. Aku menganggap pujian dari anak atau suami sebagai bonus yang sangat membahagiakan. Tapi tentu saja pengakuan, pujian, penerimaan, kesetiaan semuanya itu membuatku merasa kebutuhan aktualisasi diriku terpenuhi. Bagaiman menurut Teman-teman? 

Ana uhibbukum Mamah (almh), Ayah, A Ayat, Wafa, Riyadh, Maghfira, dan Khalifa.




6 komentar:

  1. Memuji dan memeluk. Aaaah terima kasih sudah diingatkan yaa Mbak Dedeeehh

    BalasHapus
  2. Sukaaa banget kalau anak-anak dan bapaknya bilang, "enak bener ini Bu", setelah makan bersama, padahal cuma nasi goreng yang menurut saya biasa saja...memang pujian itu membuat orang lain merasa dihargai. Apalagi jika itu diberikan di tengah-tengah hangatnya kebersamaan keluarga.
    Cerita yang menginspirasi Mbak...Terima kasih sharingnya:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul banget, senengnya kayak dapat apaa gitu. Sama2, mba Dian :)

      Hapus
  3. Sangat menginspirasi, adem saya bacanya. Besok tak suruh baca pakne Najwa lah, wkwkwk

    BalasHapus

Terima kasih sudah mampir dan berkomentar, mohon untuk tidak meninggalkan link hidup. Terima kasih :)

Me Time dengan Bonus Glazed Skin

  Pernah tidak Emak merasa sangat lelah lahir batin? Melihat segala pekerjaan rumah seperti Melihat gunungan beban. Lalu melihat anak-an...