Teringat
sepenggal episode kehidupan di masa kecil. Mungkin antara SD kelas tinggi dan
SMP. Saat itu Ayah dan Mamah selalu mengajakku menjaga toko kami setiap aku
liburan. Belajar ilmu bisnis, begitu kata Ayah. Biasanya, aku sama Ayah
berangkat duluan dan Mamah menyusul setelah membereskan pekerjaan rumah tangga.
Mungkin pikir orang tuaku, masih kecil juga lumayan lah teman ngobrol atau yang
nunggu saat mereka shalat atau ke kamar kecil.
Tapi
terus terang, buatku menjaga toko bukanlah pengisi liburan yang mengasikkan.
Meski di pasar banyak sekali jajanan, tapi kupikir tidak sebanding dengan rasa
jenuhnya. Aku selalu punya banyak alasan untuk menghindar dari tugas itu. Maka
jadilah setiap ahad pagi saat berdebat yang melelahkan. Tapi tetap saja aku tak
bisa selalu menghindar.
“Ya
sudah kalau tidak mau jaga toko, Teteh ngurus rumah aja. Tapi semuanya harus
selesai. Beberes, ngepel, nyuci, masak, juga ngasuh Si Bungsu, mau?” tantang
Mamah suatu hari. Mungkin mamah sudah bosan berdebat denganku.
Aku
pikir itu lebih asyik buatku. Aku akan segera menyelesaikan semuanya dan
setelah itu main, nonton, atau baca buku.
“Siap!”
jawabku mantap.
“Yakin?
Pekerjaan rumah itu banyak sekali lho! Kalau Mamah mah mending
juga jaga toko, cuma duduk nunggu pembeli.”
Aku
tetap pada pendirianku. Memang sih mengerjakan semua pekerjaan rumah itu tidak
mudah. Terlebih sebelumnya kami selalu dibantu seorang khadimat. Tapi aku enjoy
mengerjakannya karena ada targetan yang menyenangkan setelahnya. Beberes,
ngepel, nyuci baju, nyuci piring, masak nasi semua sudah. Ah cape juga, tapi
aku senang. Kalau ada kemauan ternyata bisa juga.
Kualitas
pekerjaannya? Ya standar anak kecil lah hehe… Contohnya cara nyuci: rendam
pakaian di dalam jolang, biarkan, injak-injak, setelah itu satu-satu dikucurin
di bawah air kran yang selalu melimpah di rumahku (maklum tinggal di kaki
gunung). Selesai deh tinggal menjemur. Bersih? Nggak tahu…hehe… Setelah semua
pekerjaan kuanggap beres, aku bersenang-senang nonton, main, atau baca buku
sambil ngasuh Si Bungsu tentu saja.
Siang
hari ba’da dzuhur Ayah dan Mamah pulang. Aku senang karena akan membuktikan
pada mereka bahwa aku bisa diandalkan. Pakaian kotor sudah dijemur, piring
kotor sudah dicuci, sudah masak nasi dan beberes rumah juga. Mereka tampak
terkesan dengan pekerjaanku hingga saat Ayah minta minum aku tercekat. Tak
setetes pun air minum yang dapat kusuguhkan. Habislah aku diomelin.
“Di
rumah seharian ngapain aja? Sampai air minum setetes pun tak ada.”
Aku
menangis. Campur baur antara rasa bersalah, sedih, dan kesal. Rasa bersalah
karena keteledoranku Ayah dan Mamah harus menahan haus. Sedih karena gagal
membuktikan diri. Dan kesal karena cape-cape bekerja malah dimarahi. Aku
berjanji minggu depan akan lebih teliti lagi.
Herannya
minggu depan dan depannya lagi kesalahanku selalu terulang. Bukan kesalahan
yang sama sebenarnya tapi mirip. Kadang lupa masak nasi, kadang lupa menjemur
baju, dll. Dapat dipastikan, aku selalu mendapat omelan karenanya.
Tentu
saja aku kesal pada diri sendiri tapi kesedihanku lebih dalam lagi. Aku merasa
diperlakukan tidak adil. Bukankah aku sudah melakukan banyak hal, tapi mengapa
aku selalu diomelin karena satu hal yang lupa kukerjakan? Memang sih
keteledoranku lumayan fatal, tapi kan aku sudah berusaha banyak. Tapi saat itu
aku tidak tahu cara mengungkapkannya.
Beruntung,
aku punya hobi membaca. Aku menemukan solusinya saat membaca koran ‘PR’
langganan Ayah. Aku lupa rubriknya, temanya kira-kira mengkritisi kebiasaan
orang tua yang jarang memuji tapi sering mengkritik anaknya. Aku baca artikel
itu hingga tuntas dan aku lega karena menemukan solusi
permasalahanku.
Aku
katakan pada orang tuaku bahwa aku kesal pada diri sendiri kenapa selalu ada
saja pekerjaan rumah yang terlupakan. Aku sedih sekali setiap mereka memarahiku
karena keteledoranku itu. Tapi aku lebih sedih karena mereka selalu focus pada
kesalahanku tanpa pernah memuji banyak pekerjaan yang telah kulakukan.
Alhamdulillah, orang tuaku bijak, mereka mau mendengarkan isi hati anaknya.
Tanpa sungkan mereka minta maaf. Mamah memelukku. Aku tersenyum senang.
Minggu
depannya, aku lupa apakah ada keteledoran lagi atau tidak. Yang kuingat, saat
pulang dari toko Mamah dan Ayah kompak memujiku. “Waah, ada Teteh di rumah mah
semuanya rapi bersih. Mau makan tinggal ambil nasi hangat. Mamah sama Ayah
tinggal istirahat. Terima kasih ya, Teteh.” Aku jadi malu sekaligus bahagia
mendengarnya.
Sejak
itu Mamah dan Ayah tak lupa memuji pekerjaanku. Tentu saja aku makin semangat
mengerjakan semuanya. Apakah aku riya dan tidak ikhlas? Entahlah. Tapi kupikir,
justru aku lebih ikhlas bekerja jika mendapat pujian sebagaimana aku tidak akan
ikhlas bekerja jika setelahnya selalu mendapat teguran.
Saat
itu tentu saja aku belum berpikir bahwa suatu saat aku akan menjadi ibu rumah
tangga full. Setelah menikah aku memutuskan untuk menjadi full time
mother dan menyimpan ijazah sarjanaku. Biarlah ilmuku kuamalkan
melalui tulisan. Kadang merasa bersyukur namun kadang merasa tidak mudah
menjadi IRT ini. Rasa jenuh dan bosan kadang meraja. Aku hampir selalu berada
di dalam rumah, mengerjakan pekerjaan rumah yang tak ada habisnya. Aku keluar
rumah hanya untuk ke warung. Sesekali jalan-jalan dan itu pun jarang karena
repot dengan anak-anak yang masih kecil-kecil.
Nah,
sebagai manusia tentu saja ibu rumah tangga juga perlu aktualisasi diri.
Kupikir dulu caranya cukup dengan menulis. Tapi ternyata, disamping
menjadi penulis kebutuhan aktualisasi diriku terpenuhi justru saat mendapat
pengakuan dari anak dan suami. Pengakuan dari mereka membuatku merasa tidak
sia-sia karena ijazah sarjana kusimpan di dalam lemari.
Aku
bahagia saat anak-anak makan masakanku dengan antusias (mereka agak susah
makan) dan mengatakan masakan Bunda enak. Mereka lebih suka menikmati kudapan
bikinanku dari pada makan nasi. Aku bahagia saat suami makan sampai nambah berkali,
lalu mengacungkan jempol dengan mulut penuh. Aku terkekeh geli sekaligus tersanjung
setelah bukber di sebuah hotel dan mengatakan makanannya lebih enak bikinan
Bunda. Aku bukan seorang ibu yang pandai memasak berbagai jenis makanan, tetapi
saat keluarga menyukai masakanku dan mengucapkan susuatu yang menyenangkan, itu
rasanya seperti mendapat penghargaan istimewa.
Tentu
saja aku berusaha ikhlas melakukan semua pekerjaanku karena mengarap rido
Allah. Aku juga tidak gila pujian yang artinya hanya mau melakukan sesuatu jika
ada pujian. Aku menganggap pujian dari anak atau suami sebagai bonus yang
sangat membahagiakan. Tapi tentu saja pengakuan, pujian, penerimaan, kesetiaan
semuanya itu membuatku merasa kebutuhan aktualisasi diriku terpenuhi. Bagaiman
menurut Teman-teman?
Ana
uhibbukum Mamah (almh), Ayah, A Ayat, Wafa, Riyadh, Maghfira, dan Khalifa.
Memuji dan memeluk. Aaaah terima kasih sudah diingatkan yaa Mbak Dedeeehh
BalasHapusSama-sama, mba Diraa :)
BalasHapusSukaaa banget kalau anak-anak dan bapaknya bilang, "enak bener ini Bu", setelah makan bersama, padahal cuma nasi goreng yang menurut saya biasa saja...memang pujian itu membuat orang lain merasa dihargai. Apalagi jika itu diberikan di tengah-tengah hangatnya kebersamaan keluarga.
BalasHapusCerita yang menginspirasi Mbak...Terima kasih sharingnya:)
Betul banget, senengnya kayak dapat apaa gitu. Sama2, mba Dian :)
HapusSangat menginspirasi, adem saya bacanya. Besok tak suruh baca pakne Najwa lah, wkwkwk
BalasHapusHihihi... Syukurlah kalau menginspirasi...
Hapus